Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Inti Mata Jiwa (IMAJI) merupakan yayasan yang didirikan di Gunung Kidul pada tanggal 18 Maret 2017. IMAJI adalah perkumpulan swadaya masyarakat dengan fokus pada upaya preventif dan promotif kesehatan jiwa masyarakat dan pencegahan bunuh diri. Dengan berlandaskan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kearifan lokal, IMAJI berkarya dalam bidang kesehatan jiwa, psikologi, dan pengembangan sumber daya manusia. IMAJI berangkat dari keprihatinan terhadap tingginya tingkat bunuh diri di Gunung Kidul. Menjadi miris karena hal tersebut dilakukan oleh orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang tidak tertanggulangi secara medis. Itu terjadi karena masih adanya pembiaran terhadap ODMK dan ODGJ di Gunung Kidul. Selain itu, adanya stigma bahwa mereka disebut sebagai sampah masyarakat yang perlu dikucilkan hingga tak layak berbaur dengan anggota masyarakat lainnya. Menanggapi berbagai perspektif masyarakat mengenai mitos Pulung Gantung dan tingginya angka bunuh diri masyarakat Gunung Kidul, Jaka Yanuwidiasta sebagai Direktur Pelaksana IMAJI pun angkat bicara. Ketika ditanyai, ia hanya menjawab dengan tegas bahwa, “Tidak ada faktor tunggal atas penyebab bunuh diri tersebut. Artinya, gabungan dari sisi kesehatan, kondisi sosial lingkungannya, kondisi ekonomi, kemudian lingkup kemasyarakatannya. Jaka juga menambahkan bahwa ada faktor internal dan eksternal yang berperan didalamnya. Internal berkaitan dengan kondisi kesehatan, pribadi dan psikologis bahkan kesehatan mental seseorang yang sangat berpengaruh. Untuk faktor eksternal itu seperti keluarga, pekerjaan hingga ekonomi. Meskipun begitu, upaya IMAJI selalu digerakkan demi membentuk konstruksi masyarakat bahwa fenomena gantung diri tidak ada kaitannya dengan Pulung Gantung. Tidak mudah memang, semuanya butuh proses yang lama. Dalam melakukan tindakan preventif, IMAJI membuat gerakan konkret yaitu dengan pendekatan kepada para korban (yang masih bisa terselamatkan) dan kepada keluarga korban. Jaka menambahkan, “Ini salah satu upaya yang kita lakukan menjadi langkah real tidak muluk-muluk, untuk mengurangi angka kematian. Saya rasa tidak mungkin, tetapi untuk menyadarkan membuat enteng masalah, intinya memang sebenarnya kita harus membangun diri kita menjadi tangguh, tangguh dalam segi mental, kesehatan jiwa jadi ya lawannya tentang mitos Pulung Gantung.”. Dikutip dari bbc.com (10/9/2017), data IMAJI sepanjang Januari-Agustus 2017 mencatat sekitar 25 orang bunuh diri, sementara 2016 mencapai 30 orang dan 2015 ada 31 kasus bunuh diri, dan hampir seluruh korban mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Ketika ditanyai, apakah bunuh diri sudah menjadi budaya Gunung Kidul? Namun dengan tegas IMAJI membantahnya. Hal tersebut memang benar adanya terjadi, tetapi kejadian bunuh diri di Gunung Kidul adalah sebuah FAKTA peristiwa kemanusiaan, dengan jumlah kejadian tidak bisa dianggap wajar. Fakta 2001-2008 setidaknya ada sepuluh wilayah kejadian bunuh diri terbanyak di Karangmojo, Semanu, Semin, Tepus, Wonosari, Nglipar, Playen, Ngawen, Patuk dan Ponjong. Kesepuluh wilayah tersebut merupakan wilayah perkembangan sosio-ekonomi perkembangan Gunung Kidul (wilayah utama pergerakan arus orang dan barang di Gunung Kidul). Fakta 2015-2017 sepuluh wilayah kejadian bunuh diri terbanyak di Wonosari, Semanu, Semin, Ponjong, Girisubo, Ngawen, Karangmojo, Tepus, Gedangsari dan tetap terjadi pada wilayah yang menjadi pergerakan arus orang dan barang. Kelompok usia bunuh diri tahun 2005-2008 usia produktif (18-54) sebanyak 54%, usia lanjut (>60) sebanyak 39%, usia anak dan remaja (<18) sebanyak 7%.Data kelompok usia bunuh diri tahun 2005-2017 (Mei) usia produktif sebanyak 55%, usia lanjut 44%, anak remaja 1%. Data dan fakta bunuh diri di Gunung Kidul menurut cara atau modusnya pada 2015-2017. Gantung diri merupakan cara yang banyak dilakukan oleh pelaku bunuh diri yaitu 73 kasus. Maka, berdasarkan data yang ditampilkan diatas serta hasil observasi dengan LSM IMAJI. Fakta bahwa setiap kejadian bunuh diri tidak dibenarkan disebabkan oleh faktor tunggal yaitu Pulung Gantung. Jaka mengatakan juga bahwa mitos tersebut hanya untuk membungkam segala fakta lain yang ada dibelakangnya. Karena ketika masyarakat mengetahui kejadian bunuh diri disebabkan oleh pulung gantung, maka tidak ada yang berani berkomentar lebih jauh. Selain itu, mitos ini juga semakin diperkuat oleh media yang mengemas beritanya tanpa melalui proses cover both sides. Akibatnya, hampir segala kasus bunuh diri yang terjadi di Gunung Kidul dipusatkan oleh Pulung Gantung.
Harapanya, peran media selain sebagai sumber informasi bagi publik. Media juga tidak memberitakan sebuah fenomena di masyarakat dengan melebih-lebihkan fakta didalamnya. Hal tersebut justru akan memperkeruh suasana dan tidak menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat. “Saya berharap seorang Sarjana Ilmu Komunikasi tidak menjadikan mitos sebagai harga jual pada industri media.”, tutup Jaka. Mitos Pulung Gantung memang masih erat sekali dipercaya oleh masyarakat Gunung Kidul. Walaupun ada masyarakat yang sudah agak menghiraukan mitos tersebut, tetapi sebagian besar masih menganggap bahwa jika ada yang bunuh diri karena gantung diri itu adalah perbuatan dari Pulung Gantung. Dilansir dari BBC Indonesia, salah satu warga Dusun Pakel, Kecamatan Saptosari bernama Yatemo (84) mengaku pernah melihat penampakan Pulung Gantung. Pada saat itu jam menunjukkan sekitar pukul 9 atau 10 malam. Lalu tiba-tiba lewat bola cahaya berwarna merah, bentuknya seperti gayung karena mempunyai ekor. Pada saat yang bersamaan, tetangga di sekitar Yatemo langsung membunyikan lesung dan kentongan. Setelah tiga hari, warga percaya bahwa Pulung Gantung tersebut sudah hilang dari dusun mereka. Karena satu hari setelah Pulung Gantung itu lewat, tidak ada kasus bunuh diri dengan gantung diri di dusun tersebut. Kisah penampakan Pulung Gantung sudah cukup banyak dapat dilihat pada media online. Tetapi ternyata terdapat fakta lain dibalik kasus bunuh diri dengan gantung diri yang sering dikaitkan dengan mitos Pulung Gantung. BBC Indonesia dalam tulisannya juga menambahkan bahwa terdapat seorang penyintas yang mencoba bunuh diri namun gagal. Sugeng Riyanto (23) merupakan salah seorang penyintas yang berhasil gagal dari percobaan bunuh diri yang dia lakukan. Sugeng mengungkapkan bahwa masalah ekonomi dan sakit adalah faktor penyebab dia melakukan bunuh diri. Pernah bekerja sebagai penjaga toko buku tulis selama setahun, Sugeng lalu berhenti karena pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Lalu selama setahun dia menganggur dan ibunya sudah tidak bekerja sebagai petani. Sempat mengikuti pemilihan kepala desa, namun penyakitnya kambuh karena faktor kelelahan. Pada saat itu Sugeng mengaku putus asa dan depresi. Frustasi yang dialaminya sudah menjadi titik nol dalam dirinya, sehingga dia memutuskan untuk mengambil tali dan melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri. Bunuh diri itu gagal karena kayu tempat dia menggantungkan tali tiba-tiba patah. Bagi Sugeng, mitos Pulung Gantung hanyalah kepercayaan yang dibesarkan oleh masyarakat. Penyakit atau masalah bunuh diri dengan gantung diri itu kembali lagi pada tiap individu. Sukardiyana selaku Kaur Tata Usaha dan Umum Desa Planjan, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul tidak menyalahkan apa yang sudah dipercaya oleh masyarakat setempat. Namun beliau memberikan pernyataan lain bahwa orang-orang yang mengambil jalan bunuh diri dengan gantung diri itu disebabkan karena keputusasaan. Keputusasaan masyarakat berkaitan dengan kasus bunuh diri di Gunung Kidul dibagi menjadi tiga, yaitu: masalah ekonomi, sakit yang tidak kunjung sembuh, atau tujuan yang tidak tercapai. Ketiga hal tersebut merupakan alasan yang sangat rentan bagi masyarakat Gunung Kidul khususnya di Desa Planjan. Percintaan menjadi faktor penyebab dalam kasus terakhir bunuh diri yang diungkapkan oleh Sukardiyana. Pada saat itu, orang tua tidak merestui hubungan percintaan salah satu pemuda di Desa Planjan. Lalu karena sudah terlanjur cinta, pemuda tersebut akhirnya putus asa, dan akhirnya memilih jalan bunuh diri dengan gantung diri.
Sukardiyana menambahkan bahwa prosentase terbanyak faktor penyebab kasus bunuh diri di Desa Planjan adalah karena masalah ekonomi (45%) dan sakit yang tidak kunjung sembuh (45%). Sisanya dikarenakan tujuan yang tidak tercapai. Masalah ekonomi dan sakit yang tidak kunjung sembuh adalah dua faktor penyebab yang saling berkaitan. Masalah ekonomi merupakan salah satu faktor penyebab kasus bunuh diri di Desa Planjan. Tetapi menurut Sukardiayana, kesenjangan ekonomi di Desa Planjan tidak terlalu terpaut jauh. Hanya saja mungkin karena kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak bisa dipenuhi yang membuat terjadi kesenjangan ekonomi. Mayoritas mata pencaharian masyarakat Desa Planjan 90% adalah petani. Semampu-mampunya petani pasti tetap ada batasannya, terlebih dari pola pemikiran ke depan yang juga masih sangat terbatas. Namun demikian aparatur desa sudah melakukan usaha preventif yaitu dengan memberikan tindakan secara psikologis (motivasi) agar dapat mengurangi kasus bunuh diri. Faktor sakit yang tidak kunjung sembuh juga merupakan alasan terjadinya kasus bunuh diri di Desa Planjan. Usaha orang yang sakit untuk menyembuhkan penyakit tersebut, kembali lagi pada kemampuan keluarga. Terkadang orang yang mengalami sakit yang tidak kunjung sembuh berpikir, daripada dia merepotkan keluarganya, lebih baik dia mengakhiri hidupnya. Hal seperti itulah yang memicu kasus bunuh diri semakin bertambah. Pemerintah sampai saat ini terus melakukan pemberdayaan dalam upaya menurunkan angka kasus bunuh diri di Gunung Kidul. Tindakan yang dilakukan pemerintah adalah memberikan motivasi dan bantuan kepada masyarakat yang tidak mampu agar mereka tetap berdaya sehingga tidak memikirkan hal-hal buruk yaitu bunuh diri. Sedangkan yang dilakukan oleh aparatur antar desa adalah dengan menjalin kerjasama lintas desa dengan puskesmas terkait untuk memberikan fasilitas berupa pelayanan psikologis terhadap masyarakat yang mempunyai masalah. Pulung Gantung merupakan mitos yang masih dipercaya masyarakat Gunung Kidul dan membuat kekhawatiran pada setiap aktifitas mereka. Mitos tersebut bermula pada kepercayaan mereka terhadap sebuah bola api yang mempunyai ekor. Ketika bola api itu berhenti di salah satu rumah, maka keesokan harinya akan ada salah satu anggota keluarga yang bunuh diri dengan cara gantung diri.
Dilansir dari liputan6.com , ada seorang warga bernama Zuhri yang pernah melihat Pulung Gantung ketika usianya masih delapan tahun. Penampakan tersebut dia lihat sekitar tahun 1980-an ketika dia sedang berada di sungai tidak jauh dari rumahnya yang terletak di Karangmojo. Ibu Zuhri berteriak ketika melihat Pulung Gantung tersebut. Kata masyarakat setempat, jika ada Pulung Gantung maka keesokan harinya ada orang yang bunuh diri. Namun jika Pulung Gantung tersebut sudah terlihat aslinya, maka tidak ada yang bunuh diri. Kejadian tersebut merupakan kali pertama juga terakhir yang dialami oleh Zuhri. Ketika Pulung Gantung berhasil membuat orang bunuh diri dengan cara gantung diri, maka terdapat tiga buah tanah berbentuk bola di dekat rumahnya. Jenazah tidak diperbolehkan untuk dimandikan dan disholatkan, jenazah juga tidak dikafani. Alasan yang melatarbelakangi hal tersebut adalah energi negatif yang terlanjur ada dalam jenazah akan menular pada orang lain apabila jenazah dimandikan, dikafani, dan disholatkan. Sumber liputan6.com juga menambahkan bahwa tercatat 90 warga bunuh diri di Gunung Kidul sejak tahun 2015 hingga November 2017. Bunuh diri mereka terbagi dalam dua cara, 88 orang gantung diri, sedangkan dua orang lainnya menceburkan diri ke sumur. Maka dari itu hingga saat ini masyarakat masih mempercayai mitos Pulung Gantung yang berkembang tersebut. Mitos merupakan salah satu hal yang berkembang dan masih dipercaya oleh masyarakat setempat. Sama halnya dengan legenda yang memiliki sejarah, mitos juga memiliki sejarah. Begitu pula dengan mitos Pulung Gantung yang masih sangat erat dengan kehidupan masyarakat Gunung Kidul. Diungkapkan oleh Sukardiyana selaku Kaur Tata Usaha dan Umum Desa Planjan, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul, adanya sejarah Pulung Gantung diawali dengan pertengkaran antara Kerajaan Majapahit melawan Kerajaan Demak. Pada saat melakukan perang, punggawa kerajaan, para prajurit, serta rakyat-rakyat yang setia kepada Raja Brawijaya V melarikan diri ke arah Gunung Kidul. Daerah Gunung Kidul dipilih karena dianggap wilayah yang susah dijangkau sehingga aman untuk melarikan diri. Pada saat melakukan pelarian, sebagian dari rombongan berhasil menjangkau Gunung Kidul tetapi sebagian lagi tewas dalam peperangan. Setelah berhasil sampai di Gunung Kidul, Raja Brawijaya V bersemedi di Pantai Ngobaran. Dia melakukan yang namanya muksa, yang berarti menghilang bersama raganya untuk menghadap Yang Maha Kuasa. Para pengikutnya juga melakukan hal sama yang dilakukan oleh Raja Brawijaya V. Namun hanya sedikit yang berhasil, sebagian besar gagal karena belum mencapai kesempurnaan seperti Raja Brawijaya V. Lalu pengikut yang gagal menjalankan muksa berubah jadi jenglot. Jenglot merupakan manusia berukuran kecil seperti boneka yang dipercaya masih hidup dan meminum darah. Pengikut yang tidak punya kemampuan seperti yang lainnya merasa frustasi. Mereka bingung karena sudah kalah perang lalu ditinggal oleh pemimpinnya. Rasa frustasi tersebut membuat mereka memutuskan untuk melakukan gantung diri secara masal. Pada saat peristiwa gantung diri tersebut, muncul energi negatif yang mana energi itu sampai sekarang masih berputar di atas wilayah Gunung Kidul dalam wujud bola api yang berekor. Sejarah tersebut yang membuat masyarakat yakin akan keberadaan Pulung Gantung yang mencari korban. Korban Pulung Gantung adalah orang yang sedang dilanda depresi atau frustasi berat. Mitos Pulung Gantung merupakan kepercayaan yang berkembang di daerah Gunung Kidul. Berdasarkan obrolan dengan Sukardiyana, kasus bunuh diri terakhir yang dialami di Desa Planjan adalah pada tahun 2013. Beliau memberikan informasi tambahan bahwa desa dengan kasus bunuh diri dalam satu tahun terakhir terletak pada Desa Kepek. Berdasarkan hal tersebut, Kecamatan Saptosari merupakan salah satu daerah dimana mitos Pulung Gantung berkembang sangat erat dalam masyarakat. Keberadaan Pulung Gantung sampai saat ini masih dipercaya oleh masyarakat Gunung Kidul. Seringkali kasus bunuh diri dengan cara gantung diri selalu dikaitkan dengan adanya mitos Pulung Gantung. Percaya atau tidak, berdasarkan sejarah yang disampaikan oleh Sukardiyana merupakan hasil dari cerita secara turun temurun yang memang berkembang pada masyarakat setempat. Pengalaman Sukardiyana pun juga memberi tambahan informasi mengenai penglihatannya terhadap sebuah bola berwarna merah yang dimaksud Pulung Gantung. Penglihatan tersebut beliau alami bersama dengan tetangga-tetangganya. Dia menambahkan bahwa pada akhirnya Pulung Gantung tersebut terbang jauh dari arah barat lalu jatuh ke timur. |
ArchivesCategories |